Dewasa ini, prinsip-prinsip jurnalistik dari sikap imparsialitas telah banyak dilabrak oleh media, khususnya media cetak dan online dengan tujuan bombastis dan hanya berpikir orientasi bisnis belaka.
Berikut ada delapan pedoman Perilaku Jurnalis Indonesia yang harus diterapkan. Pedoman ini telah melalui banyak kajian yang dilakukan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta bersama sejumlah AJI kota di Indonesia.
Pada postingan sebelumnya kita telah membahas Perilaku Jurnalis Berdasarkan Prinsip Independensi. Sementara Sikap imparsialitas dapat ditunjukkan dengan cara sebagai berikut:
- Dalam membuat berita, jurnalis tidak memihak pada salah satu subyek (baik itu dalam konflik politik, hukum, ekonomi dan sosial)
- Laporan berita yang bersifat faktual tidak dibubuhi opini pribadi wartawan
- Jurnalis tidak menggunakan bahasa yang bernuansa opini (misalnya sesuatu “baik”/”buruk”, “jahat”, “gagal”, “cantik”, “bodoh”, “sukses”, dll)
- Wartawan menghindari jargon atau gaya bahasa (eufimisme, sarkasme, dll) dan labeling/stigma yang digunakan subyek berita. Misalnya: istilah “kafir” untuk non-muslim, istilah “fundamentalis”, “GPK”, “pelacur”, “penyesuaian harga BBM”
- Jurnalis menghindari favoristisme pada salah satu tokoh, organisasi, artis, kelompok bola, dan sebagainya
- Jurnalis tidak boleh menggunakan predikat yang bernuansa kultus individu seperti “habib”, “ustad”, “tokoh idola”, “artis kesayangan”, “pejuang”, dan sebutan-sebutan lainnya.
- Untuk menghindari bias, jurnalis bisa menggunakan istilah-istilah yang obyektif (terukur/dapat diverifikasi): berapa kira-kira tingginya seseorang, bukan menyebutnya dengan “jangkung” atau “cebol”.
- Jurnalis menghindari pemilihan angle dan penggunaan istilah yang menimbulkan prasangka, baik itu suku agama, ras dan sebagainya. Misalnya: pria sipit, pria kriting, negro, dan sebagainya